Selasa, 23 November 2010

Asal Usul Sabun

Berdasarkan ukiran yang terdapat di bejana gerabah peninggalan Babilonia, bahan-bahan yang terkandung dalam sabun diduga telah dimanfaatkan sejak 2.800 SM. Dalam Papirus Eber, dokumen kesehatan Mesir Kuno tahun 1.500 SM, masyarakat Mesir Kuno menggunakan kombinasi minyak hewani atau nabati dengan garam alkali –dikenal dengan istilah saponifikasi– untuk menyembuhkan penyakit kulit dan membersihkan badan.


Istilah saponifikasi diambil dari bahasa latin “sapo” yang artinya soap atau sabun. Sapo merupakan nama sebuah gunung –ada juga yang menyebutnya bukit– dalam legenda Romawi Kuno, yang biasa menjadi tempat pemotongan hewan kurban dalam upacara. Ketika hujan, sisa-sisa lemak hewan itu tercampur abu kayu pembakaran dan mengalir ke Sungai Tiber di bawah gunung. Tak diduga, saat masyarakat sekitar sungai mencuci, mereka mendapati air mengeluarkan busa dan pakaian mereka menjadi lebih bersih.


Pada abad ke-1 masyarakat Romawi Kuno melakukan saponifikasi dengan cara mereaksikan ammonium karbonat yang terdapat dalam air seni (urine) dengan minyak tumbuhan dan lemak hewan. Ada pekerja khusus yang mengumpulkan air seni (fullones) untuk dijual ke para pembuat sabun. Tapi baru pada abad ke-2 dokter Galen (130-200 SM) menyebutkan penggunaan sabun untuk membersihkan tubuh.


Ahamad Y. al-Hassan dan Donald Hill dalam bukunya Islamic Technology: An Illustrated History, menyebut Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, kimiawan Persia, sebagai peracik pertama ramuan sabun modern. Orang Arab membuat sabun dari minyak nabati atau minyak atsiri, misalnya minyak thymus. Sentra industri sabun berada di Kufah, Basrah, dan Nablus di Palestina. Sabunnya sudah berbentuk padat dan cair.


Masyarakat di Eropa Utara, pada abad pertengahan, baru mengenal sabun cair tapi baunya kurang enak. Pada abad ke-13 jenis sabun keras mulai diekspor ke Eropa. Teknologi pembuatan sabun juga ditransfer ke Italia dan Prancis selatan selama Renaissance. Di Inggris, seperti ditulis John A. Hunt dalam “A Short History Soap”, dimuat di Pharmaceutical Journal, 1999, catatan Bristol Company of Soapmakers untuk tahun 1562-1642 menunjukkan lebih dari 180 orang terlibat dalam bisnis sabun. Bisnis sabun mendapat tempat yang istimewa di Inggris. Pada 1622 Raja James memberikan hak monopoli kepada seorang pembuat sabun dengan membayar imbalan $100.000 setahun.


Sekalipun sabun mulai dikenal, ia masih menjadi barang asing bagi sebagian masyarakat di Eropa Tengah. Menurut Alicia Alvrez dalam bukunya The Ladies' Room Reader: The Ultimate Women's Trivia Book, Di Jerman, Duchess of Juelich merasakan sensasi luar biasa ketika mendapat hadiah sekotak sabun dari sahabatnya pada 1549. Pada 1672, seorang Jerman bernama A. Leo harus menuliskan keterangan rinci cara penggunaannya ketika mengirimkan bingkisan hadiah berisi sabun kepada seorang puteri Prusia, Lady von Schleinitz.


Berbeda dengan Inggris, penguasa Perancis Raja Louis XIV justru bersikap keras kepada pembuat sabun. Sang raja pernah menghukum mati dengan pisau guillotin terhadap tiga orang pembuat sabun karena membuat kulit sang raja iritasi. Takut ditimpa hukuman yang sama, beberapa pembuat sabun berusaha lebih serius untuk menciptakan sabun berkualitas baik.


Revolusi industri yang berkembang di negeri-negeri Eropa pada abad ke-19 memperpesat industri sabun. Namun di beberapa negara, sabun masih dikenai pajak tinggi karena tergolong barang mewah. “Kombinasi monopoli dan pajak khusus telah menghalangi pembangungan industri sabun” tulis Patricia E. Malcolmson dalam English Laundresses: a Social History, 1850-1930. Pada 1852 Inggris dan Prancis menghilangkan pajak sabun untuk meningkatkan standar hidup bersih dan sehat masyarakat. Sabun pun menjadi komoditas sehari-hari yang bisa digunakan masyarakat biasa.


Sebelum mengenal sabun, masyarakat di Nusantara biasanya mandi dengan menggosokan lempeng-lempeng batu halus untuk menyingkirkan kotoran di tubuh. Agar kulit harum dan halus, mereka menaburkan kuntum mawar, melati, kenanga, sirih, dan minyak zaitun dalam wadah penampungan air. Kebiasaan ini masih berlangsung hingga 1980-an, terutama di desa-desa. Bahkan saat ini, sekalipun menggunakan sabun, ada yang merasa belum bersih tanpa menggosokkan batu ketika mandi.


Salah satu perusahaan yang memperkenalkan sabun produksi industri adalah Unilever, merger antara perusahaan asal Inggris, Lever Brothers, dan perusahaan asal Belanda, Margarine Urine. Produk sabun Unilever adalah Lifebuoy, Lux, Sweetmay, dan Capitol. Unilever membuka anak perusahaan di Jakarta pada 1931. Pesaingnya, P&G, produksi perusahaan Jerman, Dralle –yang pada 1940-an berubah nama menjadi Colibri dan diambil-alih Unilever.


Saat Perang Pasifik, Unilever diambil-alih militer Jepang untuk kepentingan perang. Ini membuat sabun jadi barang langka. Kalau pun ada, harganya melonjak. Untuk mengatasinya, pada 1943 otoritas Jepang mengeluarkan izin operasi kepada 94 perusahaan sabun: 11 untuk orang Indonesia, dan selebihnya Tionghoa. Tak satu pun izin untuk orang Eropa. Selain itu, militer Jepang memberikan latihan cara membuat sabun agar rakyat bisa hidup mandiri. Latihan itu diadakan di gudang Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di Jalan Sunda 28 Jakarta. Selain untuk keperluan sehari-hari, rakyat yang telah mahir membuat sabun biasanya menjual sabun hasil buatan mereka.


“Sabun yang bahan dasarnya terbuat dari minyak kelapa, abu, kapur, dan garam itu memiliki kualitas yang baik dan membuka lapangan usaha baru bagi rakyat,” tulis harian Borneo Shimboen, 22 Oktober 1943.


Setelah perang berakhir, Unilever mencoba bangkit. Tapi Unilever kembali berada dalam posisi sulit ketika terjadi gejolak politik pada 1950-an menyangkut Papua Barat. Semua perusahaan Belanda dinasionalisasi. Staf Unilever diusir dan diganti oleh tenaga-tenaga Inggris dan Jerman. Operasinya di bawah pengawasan pemerintah tahun 1964. Produksi Unilever merosot.


Sejarawan Alwi Shahab dalam blog pribadinya http://alwishahab.wordpress.com menulis, saat Bung Karno melancarkan politik berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), umumnya masyarakat mandi dengan memakai sabun batangan yang disebut sabun cuci. “Maklum, sabun Lux, Camay, Lifebuoy masih ngumpet di Singapura,” tulis Alwi Shahab.


Pada 1967 kendali Unilever dikembalikan. Sejak itu produk-produk Unilever kembali merajai pasar penjualan sabun di Indonesia. Pesaing bermunculan.


Kini, sabun sudah menjadi barang kebutuhan sehari-hari. Mandi takkan terpisahkan dari sabun. Tinggal bagaimana membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun. Indonesia, berdasarkan survey Departemen Kesehatan tahun lalu, termasuk negara yang malas cuci tangan pakai sabun. Padahal, sejak 2008, Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menetapkan 15 Oktober sebagai Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia.

Petasan

Tradisi membakar petasan, menurut legenda yang tersebar di Cina, sudah dimulai sejak pemerintahan Dinasti Han pada 200 SM, jauh sebelum penemuan bubuk mesiu. Ini berhubungan dengan sosok makluk gunung bernama Nian. Setiap tahun baru Cina, Nian keluar gunung, mengganggu perayaan tahun baru. Nian hendak memakan mereka! Untuk mengusir Nian, penduduk kemudian membuat suara ledakan dari bambu, yang mereka sebut baouzhu. Sejak itu petasan dipakai dalam setiap perayaan maupun festival di Cina, termasuk Imlek atau tahun baru Cina.

Petasan kemudian berkembang dengan penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh seorang pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi Hunan. Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai produsen petasan dunia.


Petasan lalu mengalami perkembangan. Tak lagi menggunakan bambu tapi gulungan kertas. Ia juga merambah Eropa melalui Marcopolo yang membawa beberapa petasan Cina ke Italia pada 1292. Pada masa Renaissance, bangsa Italia mengembangkan kembang api dengan warna-warni yang lebih memikat sebagai bagian dari perayaan seni dan tradisi masyarakat Eropa. Italia dianggap sebagai negara Eropa pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.


“Italia memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan petasan modern di dunia,” tulis John Roach dalam National Geographic News, 4 Juli 2003.


Di Indonesia, kuat dugaan petasan dibawa para pedagang Cina di Nusantara. Bahaya petasan membuat penguasa VOC pada 1650 mengeluarkan larangan membakar petasan terutama di bulan-bulan kemarau seperti Desember, Januari, dan Februari. Petasan dianggap memicu kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, serta rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu dan atap rumbia. Alasan lain yaitu faktor keamanan, penguasa VOC sulit membedakan bunyi ledakan petasan dengan letusan senjata api.


Ketakutan VOC bisa dipahami karena orang-orang Cina, sebagaimana ditulis Bakdi Soemanto dalam buku Cerita Rakyat dari Surakarta, pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan. Ceritanya, pada 30 Juni 1742, orang-orang Cina di Surakarta merasa tak puas dengan perlakuan sewenang-wenang pengausa terhadap orang-orang Cina di Batavia. Mereka melawan. Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang saat itu memihak Belanda, mengirimkan pasukan keraton untuk meredam perlawanan itu tapi tak berhasil. Pasalnya, orang-orang Cina menggunakan petasan! Banyak anggota pasukan keraton lari terbirit-birit; mengira bunyi senapan. Kebingungan juga melanda pasukan kompeni.


Larangan serupa juga diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung, terlebih saat perayaan Tahun Baru, Imlek, dan Lebaran, juga dalam tradisi masyarakat. Dalam pesta-pesta hajat seperti khitanan, perkawinan, dan maulidan orang Betawi, misalnya, petasan meramaikan suasana. Sejarawan Alwi Shahab menduga tradisi membakar petasan itu berasal dari tradisi orang-orang Cina yang bermukim di Jakarta. Orang-orang Cina tempo dulu biasa menggunakan petasan sebagai alat komunikasi untuk mengabarkan adanya pesta atau suatu acara besar. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah pesta hajat dapat dijadikan sebagai simbol status sosial seseorang di masyarakat. Ia juga menjadi penanda rasa syukur.


Tapi petasan pernah menjadi persoalan politik yang pelik. Ceritanya, pemerintah Jakarta membikin “pesta petasan” di Jalan Thamrin pada malam Tahun Baru tahun 1971. Gubernur Jakarta Ali Sadikin menyulut petasan sebagai tanda dimulainya “pesta petasan”. Berton-ton mercon dibakar malam itu. Sialnya, korban berjatuhan. Seperti ditulis Tempo, 13 November 1971, 50-60 orang diangkut ke kamar mayat, bangsal-bangsal bedah, dan poliklinik. Seorang warga Amerika juga menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit.


Presiden Soeharto kemudian turun tangan, apalagi Idul Fitri akan segera tiba. Dalam Sidang Kabinet Paripurna 12 Oktober 1971, presiden mengeluarkan serangkaian larangan dan instruksi khusus soal petasan. Hanya petasan jenis "cabe rawit" dan "lombok merah" yang diperbolehkan; itu pun harus bikinan dalam negeri –dengan alasan menghemat devisa negara. Menteri Dalam Negeri Amir Machmud lalu mengirimkan kawat kepada gubernur seluruh Indonesia, antara lain tentang ukuran mercon yang diizinkan: “Tidak boleh lebih panjang dari 8 cm, tidak boleh lebih lebar dari garis tengah 1 cm, dan isinya tidak boleh berat dari 10 gram.” Amir Machmud juga tak lagi mengeluarkan izin impor mercon. Kepala Polisi RI Komjen Polisi Drs Moh. Hasan menginstruksikan semua pejabat polisi tertinggi di setiap propinsi untuk menertibkan pemasangan dan pembuatan mercon.


Tempo juga melaporkan bagaimana para pemimpin agama sudah kewalahan melarang petasan. Bahkan Hamka hingga menteri agama pernah mencarikan ayat maupun hadist yang mencegah orang membakar mercon. Imron Rosjadi SH, ketua IV NU, pernah pula melarang orang Islam menyulut mercon dalam sebuah khotbah dua tahun sebelumnya di Masjid Istiqlal, “tapi orang-orang melototkan matanya pada saya.” Karena itulah, pada 22 Oktober 1971, bersama Jenderal Maraden Panggabean selaku Panglima ABRI, Machmud berseru: "Pemasangan petasan bukanlah suatu keharusan agama, pemasangan petasan hanyalah suatu penghamburan uang yang tak berguna," tanpa mengutip ayat Alquran atau kitab suci lainnya. Seruan itu disiarkan oleh RRI dan pers ibukota.


Polisi merazia penjual dan pemilik petasan, memusnahkan banyak petasan, tapi petasan impor tetap saja masuk lewat pelabuhan. Produsen dan penjual petasan juga diam-diam menjualnya. Setiap tahun, sekalipun ada larangan, razia, korban juga selalu berjatuhan, petasan masih mewarnai suasana perayaan di Indonesia, hingga kini.

Minggu, 21 November 2010

Sisi Positif Dan Negatif Dari Sifat Konsumtif


Sifat manusia cenderung konsumtif, yang berarti bahwa konsumen selalu mengkonsumsi produk atau jasa sepanjang waktu. Perilaku konsumtif ini muncul selain dikarenakan untuk pemenuhan kebutuhan yang sangat beragam, tetapi juga untuk mengikuti trend yang berkembang di pasar.

sisi positif dari sifat konsumtif adalah kita jadi berlomba-lomba mencari tahu tentang trend dan teknologi yang berkembang saat ini. Dari situlah nantinya kita dapat mencari ilmu tentang produk tersebut. Bgaimana cara kerjanya, kecanggihannya, dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat nantinya akan berlomba-lomba membuat produk yang sama atau lebih canggih dari produk tersebut. Sehingga akan terjadinya peristiwa dimana ilmu pengetahuan akan semakin berkembang dan alat-alat baru akan bermunculan dan semakin canggih kedepannya

Dampak negative dari sifat konsumtif biasanya dapat dilihat dari segi keuangan. Kita akan menjadi seseorang yang boros dan shopahilic yang selalu berbelanja dimanapun, kapanpun dan tanpa perhitungan apapun. Selain itu sifat konsumtif juga dapat berakibat buruk bagi produsen barang jadi di Indonesia. Karena sebagian besar dari masyarakat konsumtif itu akan melirik barang buatan luar negeri dibandingkan dengan buatan dalam negeri. Itu karena masyarakat konsumtif biasanya membentuk pribadi seseorang menjadi pribadi yang sombong dan ‘gengsi’ terhadap orang lain sehingga lebih tertarik pada barang yang mahal dan buatan luar negeri.

Begitulah kira-kira pandangan saya terhadap sisi positif dan negatif dari sifat konsumtif tersebut.


Sosok Presiden 2014

Untuk memimpin Indonesia ke depan harus ada unsur-unsur

* MENGUASAI PERMASALAHAN EKONOMI

Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Selain itu Indonesia merupakan suatu Negara yang sedang berusaha keluar dari krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1998.


* MENGUASAI PERMASALAHAN POLITIK

Prilaku politisi, kebijakan-kebijakan politik yang diambil, manuver-manuver politik, dan berbagai atraksi politik yang ada bisa menjadi sumber masalah. Keputusan-keputusan politis yang tidak memihak rakyat, perilaku politisi yang tidak mencerminkan ‘warga terhormat’, sungguh suatu masalah. Dan calon presiden Indonesia 2014 nanti harus bisa memecahkan permasalahan-permasalahan seperti ini nantinya.


* MENGUASAI PERMASALAHAN AGAMA

Seperti yang kitaketahui, Indonesia merupakan suatu Negara yang tediri dari 5 agama didalamnya. Makadari itu masih banyak kericuhan-kericuhan yang terjadi antara pemeluk suatu agama yang satu dan agama yang lain. Dan seperti yang kita ketahui, aksi teroris yang berkembang di Negara Indonesia selalu mengatasnamakan agama atas aksi-aksi yang mereka kerjakan. Makadari itu Presiden Indonesia nanti diharapkan bisa menengahi masalah-masalah keagamaan seperti itu. Sehingga diharapkan dapat memberantas aksi-aksi terorisme macam tersebut.


* MENGUASAI PERMASALAH PENDIDIKAN

Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita. Calon presiden nanti diharapkan akan membenahi system pendidikan kita menjadi lebih baik.

Selain criteria diatas, untuk mengatasi permasalahan dominan bangsa ini ada 5 (lima) kriteria utama yang harus dimiliki Capres mendatang, yaitu:

  1. Mempunyai Visi dan Misi yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia dan konsiten melaksanakannya.
  2. Mempunyai Karakter Kepemimpinan dan Jiwa Nasionalisme yang tinggi.
  3. Berani dan Tegas.
  4. Mempunyai pengalaman dibidang pemerintahan wilayah dan dinilai berhasil.
  5. Relatif tidak bermasalah, baik secara pribadi ataupun sebagai pejabat/tokoh masyarakat

Capres yang akan maju hendaknya mengedepankan kepentingan Bangsa, Negara dan Rakyat, bukan untuk kepentingan Kekuasaan/Kelompok/Partai/Individu

Demonstrasi Mahasiswa di Makassar

Demonstrasi yang digelar mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makassar, Sulawesi Selatan pada hari Senin 18 Oktober 2010 ini sebenarnya adalah demo dalam rangka memperingati 100 hari pemerintahan SBY . Namun demo yang berada di kota Makassar tersebut diwarnai sejumlah aksi anarkis. Para mahasiswa mencorat-coret kendaraan warga dan menghentikan kendaraan dinas yang melintas di sekitar lokasi demo. . Demo mahasiswa di depan kampus UMI dilakukan bukan tanpa alasan. Demonstran mengecam sejumlah kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono seperti menaikkan gaji pejabat dan menteri serta membeli pesawat kepresidenan.

Akibatnya sebuah mobil jenis ford Ranger double cabin milik polisi yang parkir bersama beberapa mobil lainnya dekat kampus di Jl Urip Sumohardjo, dirusak dan dilempar dengan batu dak kayu. Awalnya, sejumlah mahasiswa UMI melakukan demo di depan kampus mereka dalam rangka menolak rencana kedatangan Presdien SBY ke Makassar Selasa, 19 Oktober 2010. Namun aksi demo berubah anarkis setelah mahasiswa mulai membakar ban dan memblokir jalan. Tak hanya itu mahasiswapun menyandera mobil tangki dan mulasi merusak sebuah mobil Honda CRV. Pada saat demo akan disusarkan oleh petugas polisi, mahasiswa tersebut justru menyerang pada para polisi tersebut. Tak heran demonstrasi tersebut makin kacau balau akibat ulah mereka tersebut.

Sebenarnya tidak kali ini saja para mahsiswa Makassar berdemo. Dan mengapa demo mahasiswa Makassar sering kali berujung rusuh ? menurut pendapat saya, hal itu terjadi antara lain karena :

· Mahasiswa Makassar mempunyai pemahaman politik yang bagus. Itulah sebabnya mahasiswa Makassar mempunyai kesadaran yang tinggi dalam menyikapi fenomena politik yang ada di Indonesia.

· Fenomena demonstrasi itu bisa ditafsir sebagai tebalnya tembok kekuasaan sehingga aspirasi mahasiswa tidak bisa tersalurkan.

· Secara kultural, orang-orang di Makassar memang gampang terbawa emosi.

Rabu, 17 November 2010

Aku Di Dua Tahun Yang Akan Datang

Saat ini aku sudah berumur 20 tahun. Dua tahun lagi umurku 22 tahun. Saat itu aku mungkin sudah lulus dari bangku kuliahku. Kalaupun tidak, mungkin aku sedang sibuk mengejar dosen pembibing skripsiku atau sedang sibuk mengurus jadwal siding sarjanaku. Namun aku berharap 2 tahun kemudian, aku sudah lulus menjadi sarjana computer. Setelah lulus dari bangku kuliah, tentu saja aku menginginkan pekerjaan yang baik yang sesuai dengan jurursanku pada saat kuliah. Aku ingin menjadi wanita karir. Aku ingin membeli barang kesukaanku dengan hasil jerih payahku sendiri. Aku ingin pada saat nanti bekerja di salah satu kantor yang berada di pusat kota Jakarta. Memakai baju, tas dan sepatu yang rapih. Mungkin pada saat itu aku akan jauh dari orang tuaku. Karena mereka memang sudah merencanakan kepindahan meraka keKota Bandung pada saat aku sudah lulus menjadi sarjana nanti. Dan pada saat itu aku akan mengontrak sebuah rumah yang dekat dari kantorku dan mulai menjalani kehidupanku sebagai wanita karir yang mandiri. Selain itu, aku juga ingin berwirausaha dengan uang yang kukumpulkan dari hasil bekerjaku. Tidak perlu usaha yang besar. Aku ingin merintisnya dari usaha yang kecil yang nantinya akan berkembang menjadi usaha yang besar. Jadi aku mempunyai dua pekerjaan. Menjadi karyawan disuatu perusahaan dan menjadi wirausahawati.

Begitulah kira-kira aku di dua tahun yang akan datang. Setiap orang pasti memnginginkan dirinya menjadi seorang yang sukses. Akupun demikian. Aku berharap dua tahun kemuadian aku mulai menapaki kehidupanku untuk menjadi seorang wanita yang sukses. Amin.